Membaca novel grafis (atau dalam istilah penulisnya “gekiga”) “Hanyut” karya Yoshihiro Tatsumi, serasa membaca tiga biografi sekaligus: biografi sang mangaka, yang di buku disamarkan bernama Hiroshi Katsumi; biografi industri manga; dan tentu saja kalau mau berlebihan (sebenarnya tidak berlebihan dalam konteks buku ini) biografi Jepang pasca-perang.
Kalau kita melihat perjalanan hidup Hiroshi berjuang untuk meraih impiannya menjadi mangaka (pembuat komik), pada dasarnya kita bisa melihat perjuangan umum para seniman. Terutama sebagai penulis (dan jujur saja, sebelum ingin jadi penulis saya sempat tergila-gila ingin menjadi komikus), saya bisa merasakan tahapan-tahapan karirnya yang berat.
Sebagai pemula, dia memulainya dengan menggambar manga empat kotak. Atau di sini lebih dikenal dengan komik strip. Komik lucu yang tamat dalam empat panel. Saya ingat zaman dulu, di Indonesia juga subur komik-komik seperti ini. Bahkan sampai menciptakan perkumpulan-perkumpulan. Yang saya ingat ada “Karoeng” (Kartunis Bandung), maklum waktu kecil saya bacaannya koran dan majalah Jawa Barat.
Seperti Hiroshi di Jepang, para pembuat komik strip mengawali karir dengan mengirim komik satu halaman ke majalah atau koran. Honornya kadang hanya berupa medali, contoh cetak, tapi tidak jarang uang yang lumayan. Apalagi kalau memenangkan hadiah. Kurang-lebih sama dengan yang dilakukan para penulis: mengirimkan puisi/cerita pendek ke majalah atau koran.
Kalau kita membandingkan industri komik Jepang pasca-perang dengan Indonesia tahun 60-70an pada dasarnya juga sama. Para penerbit, yang menikmati pertumbuhan ekonomi tinggi, mulai meminta para mangaka empat kotak ini untuk membuat komik-komik lebih panjang. Komik-komik 20an halaman, mereka gabung dengan komik lain menjadi semacam antologi.
Antologi-antologi ini banyak sekali jumlahnya. Ada yang khusus manga sejarah, manga thriller, manga roman. Karena antologi ini rutin, seringkali penerbitannya jadi penopang keuangan para mangaka. Di kemudian hari, antologi-antologi ini berkembang menjadi majalah manga.
Sebenarnya industri manga saat itu masih amburadul juga. Penerbit tidak membayar mangaka berdasarkan royalti, tapi honor berdasarkan jumlah halaman. Kondisi yang sama saya pikir terjadi di industri komik kita di masa lalu. Komik jadi, dibayar tunai, setelah itu naskah berada di tangan penerbit. Kondisi yang sama juga terlihat dari keadaan penerbit-penerbit tersebut. Sebagian besar penerbit manga saat itu bisa dibilang berskala rumahan (kios di Pasar Senen, dalam kasus industri komik Jakarta). Kebanyakan penerbit, awalnya adalah distributor atau memang penjual buku.
Toko buku juga belum merata. Distribusi komik mengandalkan “taman bacaan” (sama, kan?). Kondisi ini ada untung-ruginya. Ruginya, buku disewa oleh pembaca dan tidak menambah nilai komersial bagi penerbit. Tapi untungnya, taman bacaan-taman bacaan ini di lain pihak menjadi pembeli yang tetap. Dengan kata lain, setiap manga terbit sudah hampir pasti ada pembelinya: taman bacaan. Kondisi yang kurang sama di puncak kejayaan komik kita.
Tapi sebagaimana disinggung penerbit buku ini, Nalar, ketika modernisasi masuk ke industri komik, industri manga di Jepang dengan sigap berubah memodernisasi diri. Di Indonesia hal itu tidak terjadi: dan akhirnya industri komik mati.
Perubahan itu antara lain: dengan daya beli yang meningkat, taman bacaan mulai turun popularitasnya, tapi toko buku mulai menjamur. Perubahan ini berdampak pada manajemen penerbitan. Mereka mulai menata diri. Sayang sekali, di Indonesia bisa dibilang tak ada penerbit komik yang berhasil bermetamorfosa menjadi penerbit modern. Padahal era taman bacaan sudah habis.
Perubahan lain juga terjadi di area penciptaan. Digambarkan para mangaka kadang-kadang dikumpulkan dalam satu tempat (kos-kosan/apartemen) untuk menghasilkan manga. Persis seperti para penulis skenario sinetron yang dikurung para produsen (ya, saya tahu soal ini, hehe). Dari sini tampak sekali industri manga Jepang memang sigap memasuki manga yang lebih terindustrialisasi.
Tapi tentu saja yang paling menarik adalah pergulatan Hiroshi dengan medium seninya. Jika seorang Hiroshi saja terus-menerus memikirkan keseniannya, tak heran jika manga (sebagai seni maupun industri), bisa maju seperti sekarang. Hiroshi mencoba membandingkan manga dengan karya-karya sastra. Ia bahkan mencoba mencari cara untuk mengadopsi cara film ke dalam manga.
Yang paling saya ingat adalah “teori”nya bahwa, jika panel penuh dengan detil, itu membawa pembaca pada suasana statis. Mereka akan diam untuk melihat gambar lebih lama. Tapi jika gambar lebih sederhana dan diberi balon dialog, suasana menjadi dinamis, mengalir. Dari sana, detail atau tidaknya sebuah panel, pada dasarnya bisa juga dipakai untuk mengatur irama cerita. Edan, kan, bisa mikir sejauh itu?
Terakhir sekali lagi, selain merupakan biografi sang penulis dan industri manga yang digelutinya, komik empat jilid ini juga bisa dibilang rekaman sejarah Jepang secara umum pasca-perang. Tiga “biografi” ini saling berkelindan dan saling mempengaruhi, tentu saja. Buku yang asyik dibaca, meskipun di ujungnya membuat sedikit sedih: kenapa industri komik kita tak berhasil melewati pancarobanya? Tapi baiklah, saya yakin selalu ada kesempatan kedua untuk industri komik kita. Ya, saya yakin
0 Response to "Mengintip Sejarah Industri Manga"
Posting Komentar